Pornografi akan dikekang. Pengekangannya melalui Undang Undang (UU). Padahal tiap individu kecenderungan menyimpan bahkan melakukan itu. Akibatnya, pro-kontra marak. Ada rasa was-was mengintip. Dan ada banyak yang ketakutan. Takut terjerat UU yang punya kans mengulang 'kegagalan' UU Perkawinan yang dipaksa dilahirkan itu.
UU yang satu ini memang ruwet dan membingungkan. Keruwetannya terletak pada realitas, kita terlalu banyak menyimpan situs yang memampang 'produk porno'. Di Candi Ceto dan Candi Sukuh di Jawa Tengah, phallus dan yoni dipampang secara vulgar.
Malah di Jakarta, meriam Ki Jagur juga meretas gambar yang sama. Itu tak hanya di tempat yang disebut, tapi juga tersebar di banyak tempat di negeri ini.
Kita juga punya banyak 'tradisi' yang 'menghalalkan' tindakan pornografi. Hubungan intim non-muhrim di Kemukus, Sragen, tradisi sifon 'Sex Education versi Timor', juga onani dan masturbasi 'gaya Suku Tugutil' di Halmahera, serta tradisi kawin massal di Irian adalah percikan kecil yang menjadi mosaik 'adegan porno' tinggalan lama yang masih lestari.
Malah jika situs serta 'tradisi' itu diteruskan pada tradisi lisan, maka dongeng Sangkuriang yang mengawini ibunya, serta Toar yang mensetubuhi Lumimuut sang ibu, rasanya akan bernasib tragis. Dongeng itu hilang dari peredaran, karena dianggap sebagai 'ajaran porno' yang layak dipenjara bagi siapa saja yang menulis atau menuturkannya.
Juga ajaran kaweruh (pengetahuan) tentang hakekat hidup, sangkan paraning dumadi (asal-usul hidup) yang menyebut manusia hasil persetubuhan laki-laki dan perempuan bisa jadi juga akan bernasib sama jika itu dituturkan. Ajaran yang sarat dengan nilai filosofi ini tidak bisa menghindari itu, karena memang manusia lahir itu melalui proses persetubuhan.
Dan UU ini jadi membingungkan ketika dikaitkan dengan pariwisata yang jadi andalan untuk dijual. Jika di Kuta dan Sanur atau Medewi para turis masih telanjang dada dan pakai celana dalam, di pantai Manggarai, Flores justru semuanya toples. Malah kalau mau jalan-jalan ke Pulau Sumba, gadis-gadis desa juga masih banyak yang telanjang dada. Adakah mereka porno dan layak dipenjara?
Saya masih ingat ketika bertandang ke Ambeno, sebuah daerah kabupaten yang sekarang masuk Negara Timor Leste. Di Kota Pante Makasar itu terdapat dua patung anak kecil menghias air mancur taman kota. Anak itu sedang kencing dengan penis dipahat realis.Saat daerah ini 'masuk Indonesia', patung itu di-upgrade. Bukan warna kusam patung serta kolamnya yang dipugar, tapi hanya alat vital patung ini yang didandani. Patung anak itu 'disunat'. Penisnya dihilangkan. Upacara 'sunat' itu disaksikan penduduk setempat yang saling bertanya, mengapa patung 'yang sudah bagus' itu harus dirusak?
Dan di era teknologi yang kian menjadi kebutuhan sekarang ini, gambar telanjang serta adegan cabul bukan lagi persoalan sulit mengaksesnya. Siapa saja bisa membuka, dan pestapora dengan adegan cabul. Sayangnya, pemerintah juga tak mampu menangkal masuknya informasi 'mbahnya porno' itu.Kalau sudah begitu kenyataannya, maka UU Pornografi yang 'konon' akan diundangkan Oktober mendatang itu rasanya bukan UU untuk manusia di bumi karena tidak 'membumi'. Ini adalah 'UU Langit' yang hampir tiap agama telah menyuratkannya.Tolong kalau mau memperbaiki negeri, jangan melahirkan UU yang semakin meruwetkan negara yang sudah ruwet ini.
tulisan dari detik.com