Tahun 1997 ketika mengunjungi Amsterdam, Helsinki, Budapest, dan beberapa kota Eropa lainnya. Pemandangan yang dapat dilihat di stasiun kereta api, di dalam kereta api, di café, di taman kota, dan tempat-tempat umum adalah orang-orang yang asyik membaca koran atau buku.
Saat ini di kota-kota tersebut 10 tahun kemudian, pemandangan itu lenyap. Orang-orang tidak lagi membuka korannya lebar-lebar di dalam kereta api bawah tanah. Di café dan taman-taman kota orang tidak lagi membaca buku tebal.
Kita melihat orang-orang penyendiri yang sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka terhubungkan dengan orang lain yang berbilang jarak lewat telepon seluler. Sebagian membaca berita lewat ponsel internet atau membaca buku elektronik Kindle. Anak- anak muda menutupi kuping mereka dengan earphone, mendengarkan lagu terbaru dari iPod. Dan yang agak terlihat ”jadul”, di antara mereka ada yang membuka laptop lebar-lebar agar bisa tersambungkan dengan internet.
Teknologi informasi mengubah dunia ini serba ringkas, praktis, serta memudahkan orang berkomunikasi dan mencari informasi. Sedikit banyak, kepraktisan ini juga terjadi di negeri ini, khususnya di kota-kota besar. Ini berkat inovasi yang memungkinkan perangkat ponsel dilengkapi internet.
Di beberapa hotspot, pemandangan warga sedang berinternet sudah biasa. Apalagi ditaman Engku Putri Batam Centre di depan kantor Walikota tiap hari apalagi malam hari rame banget.
Desktop yang biasa mencangklong di atas meja kini sudah dianggap terlalu besar dan menyita tempat. Laptop yang mobilitasnya lebih tinggi mewabah, tetapi masih terlalu besar dari segi ukuran yang kemudian digantikan palmtop. Palmtop pun sudah terlalu besar dan segera digantikan oleh communicator yang tidak lebih besar dari telapak tangan orang dewasa.
Sekarang, ketika Blackberry sudah mulai mewabah, orang bahkan tidak perlu lagi membuka laptop hanya untuk membuka e-mail yang masuk dan membalasnya (reply). Tidak perlu lari ke desktop hanya untuk melihat pesan terbaru dari Facebook atau Multiply lalu membuat status baru. Sepanjang 24 jam, push e-mail bisa masuk kapan pun.
Era layanan pesan pendek atau short message service (SMS) yang mahal sekarang nyaris berakhir dengan adanya aplikasi gratisan semacam eBuddy, Emoze atau Yahoo Messenger yang lebih mobil, lebih interaktif, lebih murah, dan lebih cepat. Semua pesan bisa didorong (push) ke dalam sebuah ponsel yang ringkas dan mobil.
Revolusi teknologi informasi yang semakin praktis dan mobil mau tidak mau berpengaruh terhadap industri media massa, mengubah medianya itu sendiri, sekaligus mengubah cara orang untuk mendapatkan informasi. Koran berformat spreadsheet sudah tidak zaman lagi, berubah menjadi lebih concise sebesar tabloid, bahkan ke depan mungkin hanya sebesar majalah.
Philip Meyer dalam buku Vanishing Newspaper meramalkan koran cetak akan mati tahun 2043. Menipisnya persediaan kayu sebagai bahan kertas yang berakibat pada mahalnya harga kertas dan semakin terbiasanya orang dengan media online, semakin mempercepat kematian media massa cetak.
Revolusi di bidang teknologi informasi sedikit banyak mengubah cara orang dalam mendapatkan informasi terkini, termasuk di Indonesia. Dengan telah diluncurkannya koran digital epaper Kompas pada awal Juli 2008 lalu, orang tidak harus menunggu Kompas cetak hadir di pagi hari. Cukup membuka laptop di rumah yang sudah tersambungkan ke internet, dengan mengklik alamat http://epaper.kompas.com, maka koran Kompas dalam format digital yang sama persis dengan versi cetak dapat segera dibaca.
Kalau ingin membaca Kompas lebih awal lagi, misalnya jam dua atau jam tiga dini hari, klik saja http://cetak.kompas.com, informasi lebih awal bisa didapat dari versi Kompas cetak online. Kalau ingin mengetahui perkembangan berita, bisa diklik http://kompas.com. Bahkan untuk mengetahui breaking news, berita nasional, berita bisnis maupun berita bola saat sedang mudik Lebaran, dengan ponsel biasa pun Kompas.com menyediakan layanan khusus dengan terlebih dahulu mengetik registrasi tertentu dan dikirim ke 9858.
Kelemahannya, jika itu harus disebut ”kelemahan”, cara memperoleh berita-berita terkini melalui ponsel ini masih berbayar. Demikian juga layanan WAP yang hanya berupa teks tanpa gambar, yang beritanya berasal dari konten Kompas.com, masih berbayar meski lebih murah dibanding layanan SMS berita.
Akan tetapi, dengan akan segera diluncurkannya Kompas.com Mobile, yakni versi Kompas.com yang lebih ringkas, ”kelemahan” berupa keharusan membayar langganan itu sudah tidak akan dijumpai lagi. Kompas.com Mobile kemungkinan digratiskan sepenuhnya, tetapi ia sekaligus menciptakan model bisnis baru berupa dibukanya iklan yang tarifnya berbeda dengan iklan di Kompas cetak maupun Kompas.com!
Koran cetak hanya sedikit memberi ruang interaksi antara pembacanya dengan para editor pada rubrik ”Surat Pembaca” atau dalam bahasa jurnalistik disebut ”Letter to the Editor” (LTTE). Itu pun tidak semua komentar bisa dimuat karena keterbatasan ruang koran.
Pada hampir semua berita dalam rubrik apa pun di Kompas.com, misalnya, pembaca diberi keleluasaan untuk memberikan komentar atau tanggapan atas berita itu. Tidak jarang orang bukan menanggapi berita, tetapi menanggapi komentar orang lain. Ini membuat berita menjadi lebih interaktif, lebih kaya, dan lebih variatif. .
Satu terobosan lagi dilakukan Kompas.com, yakni dengan hadirnya Kompasiana di alamat http://kompasiana.com. Ini adalah blog para jurnalis Kompas khususnya, dan beberapa jurnalis pers daerah dan majalah, serta litbang dan bisnis. Jika New York Times.com punya rubrik ”Talk to the Newsroom”, dengan Kompasiana pembaca bisa langsung berinteraksi dengan para jurnalis yang menulis di Kompasiana.
Dalam format terbatas, komentar atas tulisan sudah dibuka oleh Rene L Pattiradjawane lewat artikelnya ”Format” di rubrik IT dan Budiarto Shambazy lewat artikel ”Politika”. Meski demikian, tanggapan kedua wartawan senior tersebut terhadap komentar-komentar para pembaca tidak ada yang tahu karena tidak dirilis di surat kabar.
Direktur Eksekutif Kompas.com Taufik H Mihardja menyarankan agar dialog interaktif antara wartawan dan pembacanya semakin diperluas. Oleh karena itu, katanya, Kompas.com mempersiapkan satu situs bernama Kompasiana sebagai wadah bagi para jurnalis Kompas untuk berinteraksi dengan pembacanya.
”Diharapkan interaksi ini semakin meningkatkan kelekatan antara koran Kompas dengan pembaca tercintanya, di mana pun mereka berada,” katanya.
sebagian diambil dari kompas.com