Kisah Sedih Penderita Komplikasi Penyakit Hyper-IgE yang Langka
Meninggal Sehari Setelah Dokter Nyatakan Sembuh
Jangan abaikan gejala flu! Apalagi, kalau gangguan kesehatan ringan itu muncul berulang-ulang. Sebaiknya konsultasikan ke dokter ahli. Jangan diobati sendiri, karena akibatnya bisa sangat fatal, dan bahkan, mematikan. Tak percaya? Inilah kisah sedih Panca yang perlu diketahui semua orang. Terutama yang suka mengobati sendiri flunya dengan antibiotik.
---
SELASA pekan lalu (26 Mei) adalah hari yang paling membahagiakan bagi Panca dan keluarga. Sebab, malam itu dr Djoko Santoso SpPD yang tiga bulan ini merawatnya dengan intensif menyatakan bahwa dia sudah sembuh.
Malam itu benar-benar hari kemenangan. Bukan hanya bagi Panca, tetapi juga bagi istrinya yang hamil tua, kedua orang tuanya yang pensiunan perawat kesehatan, tim dokter yang dipimpin dr Djoko, dan tim perawat yang menanganinya di RS Siloam Surabaya.
Perjuangan Panca, istrinya, tim dokter, dan tim perawat yang menangani Panca sejak pertengahan Februari lalu, untuk mendapatkan kesembuhan, benar-benar perjuangan panjang yang sangat berat, menegangkan, melelahkan, dan tak pernah lepas dari doa.
Dengan kata lain, tim dokter dan tim perawat RS Siloam Surabaya yang menangani Panca selama itu seperti mengemban mission impossible. Tugas yang sangat berat dan nyaris tak mungkin diselesaikan dengan baik.
Ini karena penyakit yang diderita Panca adalah penyakit yang cukup langka, yakni Hyper-IgE (baca: haiper ai ji i). Sulitnya lagi, Hyper-IgE-nya bapak dua anak (yang satu masih dalam kandungan) ini tergolong parah dan mengalami komplikasi. Lebih sulit lagi bagi tim dokter yang merawatnya. Sebab, sampai saat berita ini diturunkan, belum ada satu pun jurnal atau paper kedokteran di dunia ini yang membahas komplikasi tersebut. Karena itu, penyakit Panca ini akan melahirkan satu teori baru tentang komplikasi apa saja yang bisa ditimbulkan oleh Hyper-IgE.
Meski dengan "meraba-raba", toh akhirnya tim dokter yang terdiri atas dr Djoko Santoso SpPD KGH PhD (ahli penyakit dalam dan konsultan penyakit ginjal), Prof Dr dr Putu Gede Konthen SpPD KAI (ahli penyakit dalam, konsultan alergi dan imunologi), dan Prof Dr dr Agung Pranoto SpPD KEMD MSc (ahli penyakit dalam, konsultan endokrin, metabolik, dan diabetes), berhasil menyembuhkan Panca.
Karena itu, tak seorang pun menyangka Panca akan pergi untuk selamanya pada Rabu siang (27/5), sehari setelah dinyatakan sembuh. "Sama sekali tidak menyangka kalau Mas harus pergi secepat itu. Padahal, paginya, sebelum ke rumah sakit, dia masih main game, play station, dengan anaknya," tutur Yuli, istri Panca, yang Agustus mendatang melahirkan anak kedua.
Rabu pagi itu, tambah Yuli, dia dan suami ke RS Siloam bukan untuk kontrol Hyper-IgE-nya. "Kami ke rumah sakit untuk memeriksakan bisul di kaki Mas Panca, yang sebenarnya sudah kering. Tapi, supaya lebih jelas, ya kami kontrolkan."
Karena itu, bisa dibayangkan, di taksi yang membawa mereka ke RS, tiba-tiba Panca mengeluh napasnya sesak. Istrinya kemudian minta Panca menyandarkan kepala di bahu sang istri. Begitu menyandar, Panca terbatuk kecil dan mengeluarkan darah walaupun tidak banyak. Ini kejadian kali kesekian dalam sebulan terakhir.
Namun, kali ini Panca tak sempat mengeluh. Sesaat setelah terbatuk, tangannya yang masih menggenggam es batu terkulai, disusul kepalanya. Tentu saja sang istri panik.
Sambil menelepon dr Djoko, Yuli memeriksa napas sang suami. Sementara ibunya yang duduk di samping sopir, segera meloncat ke belakang untuk memeriksa nadi sang putra. "Detak nadinya masih ada, tapi memang tipis," kata sang ibu.
Saking paniknya, Yuli sampai harus menendang jok si sopir agar mempercepat laju taksinya.
Tak butuh waktu lama bagi taksi itu untuk sampai ke UGD RS Siloam. Di situ dr Haryono, yang pagi itu kebagian tugas jaga UGD sudah menunggu kedatangan Panca.
"Ketika datang, napasnya sudah berhenti. Saya coba lakukan resusitasi (bantuan napas, Red) sampai 30 menit. Tapi, tidak berhasil," tutur dokter umum itu. Lazimnya resusitasi hanya dilakukan antara 15 hingga 20 menit.
Selama resusitasi dilakukan, banyak sekali darah segar yang menyembur dari mulut dan hidung Panca. Ini menunjukkan bahwa sebelum meninggal, paru-paru almarhum mengalami pendarahan hebat. Hanya tak sempat termuntahkan.
Siapa pun yang mengikuti perkembangan kesehatan karyawan bagian pemasaran harian Jawa Pos itu, pasti sangat terkejut. Sebab, kondisi Panca selama lebih dari dua minggu terakhir sangat baik.
Sejak Februari lalu, belum pernah Panca mengalami kondisi sebaik itu. Selama tiga setengah bulan, kondisinya naik turun. Beberapa kali dia mengalami masa kritis yang benar-benar mendebarkan.
Seandainya dia tidak ditangani tim dokter yang hebat, tepat, dan mencurahkan seluruh perhatian mereka secara khusus selama 24 jam untuk Panca, pasti pekerja keras itu takkan bisa bertahan hingga Selasa lalu.
Bukan itu saja, andai tim dokter juga tidak didukung ketersediaan dana yang cukup, Panca pun sulit diselamatkan. Sebab, untuk menyelamatkan Panca dari masa kritisnya dibutuhkan obat-obatan yang, antara lain, biasa dipakai dalam transplantasi organ yang harganya cukup membelalakkan mata. Dan, itu tidak hanya satu dua ampul. Belum lagi biaya yang harus dibayar untuk cuci darah (hemodialisis) yang harus berkali-kali.
Penyebab sakitnya sangat sepele. Mungkin terlalu sepele. Yakni, menyepelekan gejala flu. Karena dianggap gejala flu biasa, Panca pun mengatasi sendiri gangguan kesehatan ringan yang dialami dengan obat flu biasa dan antibiotik.
Seperti yang diakui Panca dalam wawancaranya dengan Jawa Pos awal Maret lalu. "Saya sering pilek dan demam. Saya kira flu, ya saya obati dengan obat flu biasa dan antibiotik," tuturnya ketika itu.
Panca bukan satu-satunya orang di muka bumi ini yang mengatasi gejala flu dengan cara seperti itu. Padahal, flu adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Ini berarti obatnya bukan antibiotik, kecuali gejalanya sudah menimbulkan infeksi. Dan, yang menentukan apakah gejala flu itu sudah menimbulkan infeksi atau bukan, seharusnya dokter yang ahli. Bukan orang awam.
Cara Panca minum antibiotik pun tidak berbeda dengan kebanyakan orang. Hanya satu dua kali sehari. Kalau gejalanya sudah menghilang, artinya sudah tidak lagi demam atau pilek, ya sudah. Pemakaian antibiotik dihentikan. Padahal, bukan begitu cara minum antibiotik yang benar.
Cara pengobatan sendiri seperti itu dilakukan Panca sejak masih sangat muda. Dan, hasilnya cukup efektif. Artinya, gejala pilek dan demam itu sembuh setelah dia minum obat flu dan antibiotik.
Karena dianggap efektif, selama belasan tahun, almarhum menggunakan antibiotik yang sama. Dan, sejauh itu dia tak pernah mengalami kondisi yang tidak lazim. Misalnya gatal-gatal, sesak napas, atau gejala lain yang mirip alergi.