Akhirnya jadi juga berlibur ke kampung halaman di hari raya haji tahun ini, sebenarnya ritual mudik lebih sering dilakukan kebanyakan orang di negeri ini pada hari raya idul fitri.
Pesawat kartika yang kami tumpangi mendarat mulus di bandara polonia medan, alhamdulillah awal perjalanan kami sangat lancar, dibandingkan rencana awal sebelumnya yang sempat bikin ribet juga, karena penerbangan ke medan termasuk yang rame menjelang hari raya haji karena orang aceh lebih rame dan meriah merayakannya dibanding dengan daerah lainnya bersama dengan orang madura tentunya yang meriah menyambut lebaran yang disebut juga hari raya kurban ini.
Setelah bermalam di Medan dua malam, kami melanjutkan perjalanan darat ke kampung saya dulu, tujuan kami adalah desa paya bengkuang.
Di desa inilah saya lahir dan dibesarkan sampai tamat sekolah lanjutan tingkat atas. Desa Paya Bengkuang jika ditarik garis ukur kira-kira berjarak 70 km dari ibukota provinsi sumatera utara, medan ke arah aceh, dari jalan trans sumatera ini bisa masuk melalui persimpangan serapuh, kedai muk ataupun air hitam dengan menggunakan kenderaan becak sepeda motor, desa yang masuk dalam kecamatan gebang ini ada di kabupaten langkat yang sedang rame mengadakan pilkada bupatinya untuk puteran kedua ketika kami pulang ini, dengan jagoannya bang tongat bersaing dengan bang naim.
Dulu sewaktu saya masih bayi menurut cerita orang tua saya kampung ini masih hutan nan sepi, bahkan masih binatang buas yang sering bertamu ditengah malam seperti harimau dan buaya, ih.. serem.
paya itu berarti rawa-rawa dan bengkuang artinya pohon tumbuhan yang bisa dibuat untuk tikar alas yang banyak tumbuh didaerah rawa.
Kalo sekarang jangan harap ketemu tumbuhan bengkuang ini, udah langka sedangkan paya/rawa pun udah mngering menjadi lahan tempat tinggal penduduk.
Populasi penduduk di desa kami hampir 90% berasal dari suku jawa, nenek moyang saya sendiri dulunya berasal dari jawa tengah, di desa begelen konon katanya masih saudara nyi begelen tokoh mistis di purworejo tersebut yang terkenal karena kelezatan duriannya.
Banyak suku jawa sebenarnya tidak mengheran di sumatera utara bahkan di kota medan sekalipun, karena pada jaman penjajahan belanda dulu banyak orang jawa dari pulau jawa sana yang di angkut paksa untuk menjadi romusa atau pekerja paksa di perkebunan yang mereka kuasai. akhirnya sampai generasi keempat seperti kami ini pun tidak pernah lagi menginjakan kaki kembali ke pulau jawa.
seperti umumnya daerah tropis khas indonesia, pada bulan agustus banyak dijumpai musim buah rambutan, durian, langsat, manggis, cempedak, kwini dan lain sebagaimana buah khas tropis lainnya, kami bersyukur masih bisa menikmati buah durian walaupun tidak sedang musimnya di bulan desember seperti sekarang ini.