Biasanya kampanye negatif dilancarkan oleh presiden yang sedang berkuasa.
Seperti pemulung, ia mulai menggali tong sampah masa lalu calon-calon presiden pesaingnya. Salah sendiri kenapa selama memerintah enggak berbuat apa-apa. Ia menyia-nyiakan waktu, tenaga, dan biaya alias keseringan ngelamun saja.
Ibarat orang kaya baru (OKB) ia hidup boros menghabiskan tabungannya. Ia tiba-tiba siuman setelah 4-5 tahun pingsan dan gagal memenuhi janji-janjinya.
Kampanye negatif bermakna sekumpulan fakta yang tidak penting, yang didramatisasi, dibumbui, dan disajikan "lebih indah dari warna aslinya". Fakta- fakta itu bahkan sering dimanipulasi menjadi fitnah.
Ilmu kampanye negatif tak ubahnya seni merangkai bunga. Biasanya ahli-ahli kampanye negatif berlatar belakang intelijen yang, maaf, mempunyai tingkat inteligensia yang rendah. Operasi mereka diorganisasikan langsung oleh sang presiden yang kepepet tadi dengan bantuan orang-orang lingkar satu di sekitarnya.
Tentu saja partai politik si presidenlah yang menyediakan dana.
Presiden yang kepepet itu memanfaatkan pula birokrasi pemerintahannya. Ia memaksa pula seluruh jajaran aparat keamanan agar ikut membantu kampanye negatifnya.
Dasar presiden lagi kepepet, ia biasanya memenangi pilpres juga melalui cara-cara yang sama. Jangan lupa pula, presiden yang kepepet itu punya tabiat buruk, yakni rela mengadu domba bangsa sehingga terpecah belah.
Ia sebenarnya paham praktik kampanye negatif berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara. Namun, ia tak peduli terjadi pertumpahan darah cuma demi melanggengkan kekuasaannya.
Sejarah membuktikan tidak sedikit presiden yang kayak gini yang pernah berkuasa di mancanegara. Mereka jelas tidak seperti Bung Karno, presiden pertama kita yang rela tenggelam demi mencegah berkecamuknya perang saudara.
Bung Karno tidak hanya menjadi korban kampanye negatif, jasa-jasa positifnya pun disetipdari buku-buku sejarah. Oleh Orde Baru, para pengikut setia dia dikucilkan, ditangkapi, disiksa, bahkan dilenyapkan nyawanya.
Mereka dicap golongan kiri atau kaum Soekarnois yang mesti dijauhi ibarat penderita penyakit kusta. Sebagian dari mereka bahkan dikategorikan sebagai komunis, satu-satunya musuh khayalan hasil karangan pemerintah.
Mereka bukan lagi sekadar menjadi korban kampanye negatif, tetapi disapu topan badai kampanye hitam yang diberlakukan sepanjang masa. Berbeda dengan kampanye negatif, kampanye hitam sama sekali tidak berdasarkan fakta-fakta.
Sesuai dengan namanya, warna hitam telanjur identik dengan kebengisan perbudakan yang dialami rakyat miskin dari Afrika. Padahal, kita di sini mengenal metafora "gadis hitam manis" yang difavoritkan sebagian pria.
Lelaki ganteng berkulit coklat berambut hitam yang berkunjung ke Amerika Serikat (AS) atau Eropa bisa dipandang sebelah mata. Namun, perempuan bule dengan rambut hitam terjurai malah diperlakukan bagai bidadari nan cantik jelita.
Nah, lebih kurang perlakuan diskriminatif semacam itulah yang kini dialami Barack Obama. Ia capres Demokrat yang diunggulkan akan memenangi pilpres untuk memimpin satu-satunya negara adidaya.
"Kemustahilan" ini telah menimbulkan keresahan pada segelintir politisi, tokoh, dan pemimpin puritan Republik yang delapan tahun terakhir berkuasa semena-mena. Bukannya bertobat, mereka belum rela kehilangan kuasa.
Perang terhadap terorisme gagal total, Osama bin Laden masih buron, Irak makin berantakan, dan krismon di AS mengganggu perekonomian dunia. Jangankan kita, mayoritas rakyat di AS saja sudah amat gerah.
Untuk memenangi John McCain, mesin politik Republik makin gencar melancarkan kampanye negatif terhadap Obama. Ratusan ribu rakyat ditelepon dihasut perkara hubungan Obama dengan teroris yang pada tahun 1960-an mengebom gedung pemerintah.
Belakangan ini kampanye McCain-Sarah Palin makin sering dihiasi oleh ejekan-ejekan tak lucu yang dilontarkan kepada Obama. Ia diteriaki sebagai teroris, Arab, komunis, sosialis, liberal, bahkan bukan manusia.
Ya, segelintir pendukung McCain-Palin membawa boneka-boneka kera hitam berkaus dan topi dengan huruf Obama. Tabiat norak ini tak ubahnya penonton liga Spanyol yang menghina pemain hitam dengan meniru gerakan serta suara kera.
Kubu kampanye McCain-Palin membiarkan saja. Itu sebabnya persentase dukungan rakyat terhadap McCain-Palin semakin hari semakin rendah.
Salah satu pihak yang marah adalah media massa. Sebagian koran besar, termasuk The Washington Post dan Chicago Tribune, telah menerbitkan tajuk rencana yang mendukung Obama.
Mereka tak peduli pada warna kulit, latar belakang keluarga, ras, etnis, agama, dan masa lalu Obama. Sebentar lagi mayoritas media massa menjatuhkan pilihan kepadanya untuk memulai kulit hitam pemimpin negeri adidaya.
Namun, apa yang terjadi kalau Obama akhirnya terkalahkan? Mungkin ada sebagian bangsa mendemo kedutaan-kedutaan AS di mancanegara menumpahkan kesalahan pada kampanye negatif kaum puritan.
Untuk pertama kalinya urusan dalam negeri AS dicampuri negara-negara lain. Padahal, Washington punya reputasi sebagai negara besar yang gemar mengatur napas orang lain. "Oh, yang kepilih McCain-Palin? Ah, emangnya gua pikirin," begitu saya membatin.
sources kompas