Perusahaan-perusahaan raksasa Amerika bertumbangan. Pemerintah terpaksa menyiapkan dana talangan 700 milyar dollar. Semuanya akibat sistem kapitalisme liberal sebagaimana halnya di Indonesia. Kapitalisme Laissez-Faire
-Apa sesungguhnya yang terjadi? Krisis ini bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.
Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai 16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis. Penjualan rumah macet.
Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut, seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime mortgage.
Tapi ketika Maret 2008, The Fed membantu Bear Stearns, bank investasi di Wall Street, 29 milyar dollar, untuk kemudian dikawinkan dengan JP Morgan, banyak pengamat yang meramalkan krisis telah berakhir. Alasannya, meski rendah, toh buktinya ekonomi Amerika masih terus tumbuh.
Sampai 6 bulan kemudian, September 2008, Fanny Mae dan Freddie Mac tersungkur dan harus disuntik 200 milyar dollar. Lalu disusul bankrutnya Lehman Brothers dan sejumlah raksasa lainnya. Oleh karena itu tampaknya sekarang tak ada ahli yang berani meramalkan sampai kapan krisis ini berakhir.
Meski pemerintah akan memborong saham bermasalah itu, seperti ditulis Profesor Paul Krugman, pengajar ekonomi Princeton University di The New York Times, 19 September lalu, “Pertanyaannya, apakah itu dilakukan dengan benar?’’. Yang pasti, krisis ini sudah berlangsung setahun lebih dan Krugman menyebutnya sebagai slo-mo crisis alias krisis dengan gerak lambat (slow motion).
Nouriel Roubini, ekonom dari Stern School of Business, New York University, menunjuk Jepang yang sudah 10 tahun mengalami stagnasi ekonomi, bisa dijadikan contoh untuk menarik banyak pelajaran. Maka kata Roubini, “Kereta api resesi sudah meninggalkan stasiun, tapi ia bisa berjalan satu setengah tahun atau bisa juga lima tahun.’’
Dampak yang ditimbulkannya juga terus menggelembung. Pada Juli 2007, Ketua The Fed, Ben Bernanke, menghitung krisis ini akan menimbulkan kerugian tak sampai 100 milyar dollar. Nyatanya sekarang dibutuhkan dana 700 milyar dollar untuk menjamin kredit macet (bad debt). Beberapa ahli meramalkan jumlah itu akan membengkak menjadi 1 triliun dollar atau lebih.
Apa yang terjadi di Amerika ini menjadi pelajaran berharga. Inilah bukti bahwa sistem kapitalisme laissez-faire yang liberal itu selalu menyebabkan krisis, mulai krisis ekonomi terparah di tahun 1929, sampai krisis lainnya, dan terakhir krisis subprime mortgage ini.
Para ahli sepakat sekarang bahwa krisis ini disebabkan tak adanya regulasi yang mengatur pasar saham Wall Street. Di dalam ideologi kapitalisme liberal, regulasi adalah barang haram.
Oleh karena itu mantera yang harus terus diamalkan adalah deregulasi.
Dan itu dilaksanakan di Amerika sejak pemerintahan Presiden Ronald Reagan, di tahun 1980-an. Reagan menggunakan sistem kapitalisme untuk menghadapi sistem ekonomi terpusat dari komunisme, musuh Amerika dan Barat dalam Perang Dingin pada waktu itu.
Di zaman Presiden Clinton, misalnya, regulasi yang sudah ada sejak Great Depression, yang melarang bank komersial memperluas aktivitasnya dalam berbagai kegiatan finansil lain seperti investasi dan asuransi, dideregulasi alias dinyatakan tak berlaku. Apalagi ketika Alan Greenspan menjadi pemimpin The Fed, deregulasi demi deregulasi dilakukan. Sehingga iklim di sekitar pasar keuangan dan modal Amerika memang sangat bebas. Alan Greenspan pun dipuji-puji setinggi langit, termasuk oleh koran-koran utama di Indonesia.
Dalam sistem kredit perumahan, misalnya, kredit diberikan kepada orang di luar kemampuannya. Dan itu banyak sekali terjadi. Maka ketika tiba waktunya, terang saja pembayaran kredit itu macet. Parahnya kredit-kredit macet itu bisa menjadi surat berharga – obligasi, bond, surat utang, dan sebagainya – dengan nilai tinggi. Ia terjual laris-manis ke mana-mana ke seluruh dunia.
Maka dalam editorial 20 September lalu, koran terkemuka Amerika, The New York Times dengan sangat keras mengecam sistem kapitalisme liberal yang ditrapkan pemerintahan Presiden Bush sebagai sumber malapetaka ini. Menurut editorial itu, rakyat Amerika harus diberi tahu kebenaran yang fundamental bahwa krisis yang sekarang menerpa Amerika terjadi sebagai hasil sebuah kesengajaan dan kegagalan sistematik dari pemerintah untuk mengatur dan memonitor aktivitas bankir, kreditor, pengelola dana (hedge funds), asuransi dan pemain pasar lainnya.
Kegagalan pengaturan itu, pada masanya, didasari pada kepercayaan suci dari pemerintahan Bush bahwa pasar dengan tangan silumannya bekerja dengan sangat baik ketika ia dibiarkan sendiri, mengatur dirinya sendiri, mengawasi dirinya sendiri. ‘’Negeri ini sekarang harus membayar mahal harga khayalan itu,’’ tulis editorial tersebut.
Maka berbagai penjaminan, penalangan, yang sekarang dilakukan pemerintah, menurut editorial tersebut, hanya langkah pertama. Setelah itu, yang harus dilakukan adalah bekerja keras untuk membuat regulasi yang dibutuhkan oleh sebuah sistem keuangan yang terpercaya.
Regulasi? Istilah itulah selama ini yang dimusuhi kelompok Mafia Berkeley di Indonesia yang dipimpin Profesor Widjojo Nitisastro. Sejak krisis tahun 1998, Indonesia melalui pemaksaan oleh IMF dan Bank Dunia yang dibantu kaum Mafia Berkeley, mentrapkan sistem kapitalisme liberal di Indonesia. Sejak itu berbagai regulasi dihabisi: Bulog dibubarkan, Pertamina dikempeskan, impor dibebaskan, maka banyak rakyat mati kelaparan.
Indonesia yang kaya sumber daya alam, sekarang adalah surga untuk perusahaan asing, terutama Amerika Serikat. Mereka menguasai mayoritas ladang minyak dan gas kita. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terbukti di dunia internasional sekarang lagi berkibar, di Indonesia dijual.
Soalnya, menurut ideologi ini semua perusahaan harus diprivatisasi alias diswastakan. Karena undang-undang yang amat liberal maka sumber daya air, pelabuhan, dunia pendidikan, akan bebas dimasuki pemain asing. Padahal di Amerika Serikat saja, Dubai Port dari Timur Tengah tak bisa mengelola pelabuhan di Amerika Serikat sekali pun sudah menang tender.
Menteri-menteri penting adalah penganut sistem kapitalisme liberal. Malah Sri Mulyani, menteri paling berkuasa dalam kabinet SBY-JK adalah orang IMF. Jadi meski pun disebutkan IMF tak ada lagi di Indonesia, yang sebenarnya terjadi bahwa IMF sudah masuk dalam kabinet SBY-JK.
Makanya Presiden SBY, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan kawan-kawannya pendukung sistem kapitalisme liberal di Indonesia, sebaiknya membaca editorial The New York Times tadi. Dengan demikian mereka maklum bahwa sebagaimana Amerika Serikat, Indonesia hanya menunggu giliran akan terjerembab di dalam krisis yang sama, karena sistem kapitalisme liberal yang mereka terapkan.
Sekarang saja, Indonesia sudah mulai merasakan imbas krisis di Amerika dengan jatuhnya indeks di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Apalagi, siapa pun tahu, bahwa para pemain di BEJ didominasi asing. Kalau mereka menarik investasi jangka pendek itu karena suatu keperluan di negerinya yang sedang dilanda krisis, BEJ bisa jadi pasar loak.Tapi yang pasti, sistem kapitalisme yang dianut pemerintahan SBY-Kalla, cuma menguntungkan segelintir kaum pemodal besar. Kekayaan mereka melonjak berlipat-ganda. Sementara mayoritas rakyat bertambah miskin. Itu sudah terbukti selama ini dan terjadi di mana saja sistem kapitalisme dipraktekkan, termasuk di Amerika Serikat. Lihat bagaimana rakyat kecil mati terjepit karena berebutan zakat, mati karena kurang gizi atau kelaparan. Itulah yang terjadi selama ini.
[www.hidayatullah.com]